SEJARAH NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Deklarasi HAM
yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948,
tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah
dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan
negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM
sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun
ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di
negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk
saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar
negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka
peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke
dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa
menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai
setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi
negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian
setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara
anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang
bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan
negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan
pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui
lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan
sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun
hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub
dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku
bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta
bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama.
Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia
HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah
dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara
lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja
berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila
para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi
asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh
Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum
Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam
perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights
selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa
tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan
Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi
tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang
harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita
mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya
berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati
terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada
kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah
terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan
demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita
menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk
pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu
kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan
kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum
(kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara
kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak
semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Ada yang mengatakan
bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya
Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja
dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya
negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita.
Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia)
memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan
lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan
HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut,
maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi
diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman".
Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam
pelaksanaan. Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu
yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan
sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat
dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu.
PERJUANGAN DUNIA YANG BERKESINAMBUNGAN UNTUK
HAK ASASI MANUSIA.
Perspektif
Karel Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis, dapat digunakan untuk membantu
memahami perkembangan substansi hak-hak yang terkandung dalam konsep hak
asasi manusia. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada
substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu
tertentu. Vasak membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis
yang terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan”.
Menurut
Vasak, masing-masing kata dari slogan itu, sedikit banyak mencerminkan
perkembangan dari kategori-kategori atau generasi-generasi hak yang berbeda.
a.
Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
“Kebebasan”
atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan
politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari
tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan
kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Hal ini ditandai dengan muncul dalam
revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan
ke-18. Karena itulah hak-hak generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak
klasik. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi
manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan
individu).
Termasuk
dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan
bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan
berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan
pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas
dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan
proses peradilan yang adil.
Hak-hak
generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”.
Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya
campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin
suatu ruang kebebasan di mana individu sendirilah yang berhak menentukan
dirinya sendiri.
Hak-hak
generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh
pihak-pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap
kedaulatan individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan
dalam generasi pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara
terhadap hak-hak tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif)
terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan
kebebasan tersebut. Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua,
yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah
memasukkan hak-hak ini ke dalam konstitusi mereka.
b.
Generasi Kedua Hak Asasi Manusia.
“Persamaan”
atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar Negara menyediakan
pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada
kesehatan. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar hak-hak
tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini
dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan
dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Inilah yang membedakannya dengan
hak-hak generasi pertama.
Termasuk
dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak
atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan,
hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak
atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian. Hak-hak
generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini
sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Yang dimaksud dengan positif
di sini adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif
negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan tanda plus (positif),
tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif).
Jadi untuk
memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara
diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan
hak-hak tersebut. Sering pula hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan
paham sosialis, atau sering pula dianggap sebagai “hak derivatif”, oleh karena
itu dianggap bukan hak yang “riil”. Namun demikian, sejumlah Negara (seperti
Jerman dan Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.
c.
Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
“Persaudaraan”
atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas”
atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara
berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui
tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan
terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi
terjaminnya hak-hak berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas
perdamaian; (iii) hak atas sumber daya alam sendiri; (iv) hak atas
lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan umat manusia bersama
(common
heritage of human mankind).
Di antara
hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh negara-negara berkembang
itu, terdapat beberapa hak yang di mata negara-negara Barat agak kontroversial.
Hak-hak itu dianggap kurang pas dirumuskan sebagai “hak asasi”. Klaim atas
hak-hak tersebut sebagai “hak” baru dianggap sahih apabila terjawab dengan
memuaskan pertanyaan-pertanyaan berikut: Siapa pemegang hak tersebut, individu
atau negara?; Siapa yang bertanggungjawab melaksanakannya, individu, kelompok
atau negara? Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Pembahasan terhadap
pertanyaanpertanyaan mendasar ini telah melahirkan keraguan dan optimisme di
kalangan para ahli dalam menyambut hak-hak generasi ketika itu.
Tetapi dari
tuntutannya jelas bahwa pelaksanaan hak-hak semacam itu, Jika memang bisa disebut
sebagai “hak’ maka pemenuhannya akan bergantung pada kerjasama
internasional, dan bukan sekedar tanggung jawab suatu negara.
sejarah perkembangan dan
perumusan hak asasi manusia di Dunia.
Perkembangan atas
pengakuan hak asasi manusia ini berjalan secara perlahan dan beraneka ragam. Perkembangan
tersebut antara lain dapat ditelusuri sebagai berikut.
1. Hak Asasi Manusia di Yunani
Filosof
Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) meletakkan dasar
bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak – hak asasi manusia. Konsepsinya
menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang
zalim dan tidak mengakui nilai – nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles
(348-322 SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan
dan kehendak warga negaranya.
2. Hak Asasi
Manusia di Inggris
Inggris
sering disebut–sebut sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak
asasi manusia. Tonggak pertama bagi
kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan
adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen
tersebut adalah sebagai berikut :
MAGNA CHARTA
Pada awal
abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah diganti oleh Raja
John Lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat dan para
bangsawan. Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan rasa tidak
puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John untuk
membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung.
Magna Charta
dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan
raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang
pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya
atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali
berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan
telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh
pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap
hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya
lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Isi Magna Charta adalah sebagai berikut :
Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati
kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris.
Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan
hak-hak sebagi berikut :
Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati
hak-hak penduduk.
Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa
bukti dan saksi yang sah.
Seseorang yang
bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa
perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
Apabila
seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan
mengoreksi kesalahannya.
PETITION OF
RIGHTS
Pada dasarnya
Petition of Rights berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak rakyat beserta
jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan kepada raja di depan
parlemen pada tahun 1628. Isinya secara garis besar menuntut hak-hak sebagai
berikut :
Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan.
Warga negara
tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya.
Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam
keadaan damai.
HOBEAS CORPUS
ACT
Hobeas Corpus Act adalah undang- undang
yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. Isinya adalah
sebagai berikut :
Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam
waktu 2 hari setelah penahanan.
Alasan penahanan seseorang harus disertai
bukti yang sah menurut hukum.
BILL OF RIGHTS
Bill of
Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen
Inggris, yang isinya mengatur tentang :
Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen.
Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus
seizin parlemen.
Hak warga
Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing .
Parlemen berhak
untuk mengubah keputusan raja.
3. Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat
Pemikiran
filsuf John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak atas
hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property) mengilhami sekaligus
menjadi pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu memberontak melawan penguasa
Inggris pada tahun 1776. Pemikiran John Locke mengenai hak – hak dasar ini
terlihat jelas dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikenal dengan
DECLARATION OF INDEPENDENCE OF THE UNITED STATES.
Revolusi
Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli 1776, suatu
deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian,
merupakan pula piagam hak – hak asasi manusia karena mengandung pernyataan
“Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta.
Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan
kebebasan untuk menikmati kebahagiaan.
John Locke menggambarkan keadaan status naturalis, ketika manusia
telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan bersama-sama,
hidup lebih maju seperti yang disebut dengan status civilis, locke berpendapat bahwa manusia yang
berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara.
Declaration of
Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika sebagai negara yang memberi
perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun
secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau.
Kesemuanya atas jasa presiden Thomas Jefferson presiden Amerika Serikat lainnya
yang terkenal sebagai “pendekar” hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln,
kemudian Woodrow Wilson dan Jimmy Carter.
Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat
kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari
1941 yakni :
Kebebasan untuk
berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
Kebebasan
memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion).
Kebebasan dari
rasa takut (freedom from fear).
Kebebasan dari
kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Kebebasan- kebebasan
tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan dari kekejaman dan penindasan melawan
fasisme di bawah totalitarisme Hitler (Jerman), Jepang, dan Italia. Kebebasan –
kebebasan tersebut juga merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk
mencapai perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini
pada hakikatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling
pokok dan mendasar.
4. Hak Asasi
Manusia di Prancis
Perjuangan
hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam suatu naskah pada awal Revolusi
Prancis. Perjuangan itu dilakukan untuk melawan kesewenang-wenangan rezim lama.
Naskah tersebut dikenal dengan DECLARATION DES DROITS DE L’HOMME ET DU CITOYEN
yaitu pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara. Pernyataan yang
dicetuskan pada tahun 1789 ini mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan
persaudaraan atau kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite).
Lafayette
merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia masyarakat Prancis yang berada di
Amerika ketika Revolusi Amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya
Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen. Kemudian di tahun 1791, semua
hak-hak asasi manusia dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi Prancis yang
kemudian ditambah dan diperluas lagi pada tahun 1793 dan 1848. Juga dalam
konstitusi tahun 1793 dan 1795. revolusi ini diprakarsai pemikir – pemikir
besar seperti : J.J. Rousseau, Voltaire, serta Montesquieu. Hak Asasi yang
tersimpul dalam deklarasi itu antara lain :
1) Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka.
2) Manusia mempunyai hak yang sama.
3) Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak
lain.
4) Warga Negara
mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta pekerjaan umum.
5) Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut
undang-undang.
6) Manusia mempunai kemerdekaan agama dan kepercayaan.
7) Manusia
merdeka mengeluarkan pikiran.
8)
Adanya
kemerdekaan surat kabar.
9) Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat.
10) Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
11) Adanya
kemerdekaan bekerja,berdagang, dan melaksanakan kerajinan.
12) Adanya
kemerdekaan rumah tangga.
13) Adanya
kemerdekaan hak milik.
14) Adanya
kemedekaan lalu lintas.
15) Adanya hak hidup dan mencari nafkah.
5. Hak Asasi
Manusia oleh PBB
Setelah
perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi
manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi
manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai
pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun
kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di
Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu
berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang
Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang
terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8
negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10
Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
Universal
Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan, Bahwa setiap orang
mempunyai Hak :
Hidup
Kemerdekaan dan
keamanan badan
Diakui
kepribadiannya
Memperoleh
pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan
hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak
bersalah kecuali ada bukti yang sah
Masuk dan
keluar wilayah suatu Negara
Mendapatkan asylum
Mendapatkan
suatu kebangsaan
Mendapatkan hak
milik atas benda
Bebas
mengutarakan pikiran dan perasaan
Bebas memeluk
agama
Mengeluarkan
pendapat
Berapat dan
berkumpul
Mendapat
jaminan sosial
Mendapatkan
pekerjaan
Berdagang
Mendapatkan
pendidikan
Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan
keilmuan
Majelis umum
memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi Manusia itu sebagai tolak
ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua anggota
dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-hak
dan kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam pernyataan tersebut. Meskipun
bukan merupakan perjanjian, namun semua anggota PBB secara moral berkewajiban
menerapkannya.
6. Hak Asasi
Manusia di Indonesia
Hak Asasi
Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak
Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara
pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus
memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah
Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti
melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang
dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.
Setiap hak
akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak
memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau
kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Negara
Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak
terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan
serta keadilan.
Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki
Negara Republik Indonesia,yakni:
Undang – Undang
Dasar 1945
Ketetapan MPR
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Undang – Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Di Indonesia
secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan
menjadi sebagai berikut :
Hak – hak asasi
pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat,
kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
Hak – hak asasi
ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk
membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
Hak – hak asasi
politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak
pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai
politik.
Hak asasi untuk
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan ( rights of legal
equality).
Hak – hak asasi
sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk memilih
pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan
dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal
penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.
Secara
konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi
Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVII/MPR/1998.
KASUS
PENANGANAN HAM DI INDONESIA
"Kondisi
HAM sepanjang 2007 belum sepenuhnya terwujud dan belum kondusif," ujar
Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary No 4B,
Menteng, Jakarta Pusat, Senin (10/12/2007).
Kondisi HAM yang belum
kondusif, menurut Ifdhal tergambar dari penyelesaian kasus dugaan pelanggaran
HAM berat yang tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan, padahal penyelidikan
telah lama selesai. Seperti kasus Trisakti, Kerusuhan Mei 98 serta beberapa
kasus HAM di Wasior dan Wamena.
Selain itu, Ifdhal juga
menyesalkan sikap para penegak hukum di Indonesia yang terkesan sulit bekerja
sama dalam penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Hal tersebut terlihat
dalam beberapa kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang masih terkatung-katung
hingga kini, seperti kasus penghilangan orang paksa dalam konteks kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Dalam pelaksanaan dan
peninjauan hak sipil dan politik, selama 2007, Komnas HAM mencatat masih
berlangsungnya tindak kekerasan yang tidak hanya dilakukan oleh aparat negara
melainkan juga kelompok-kelompok radikal dalam masyarakat.
Hal ini tentu merupakan
pelanggaran terhadap hak atas rasa aman dan tentram, perlindungan pribadi,
kehormatan dan martabat seseorang. Secara khusus Komnas HAM juga mencatat telah
terjadi tindak kekerasan yang ditujukan kepada kalangan wartawan yang mengancam
kebebasan pers.
"Komnas HAM juga
memperhatikan pelanggaran atas kebebasan pribadi seperti kebebasan untuk
beribadah menurut aliran kepercayaan masing-masing seperti pengikut Ahmadiyah
dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah," tandasnya.
Terkait dengan proses seleksi
calon anggota HAM periode 2007-2012, redaksi Syirah berhasil menghimpun komentar dan pandangan beberapa orang
dari 70-an nama calon anggota Komnas HAM yang dinyatakan lulus seleksi
administratif. Mulai dari soal UU yang berbau diskriminatif hingga sumbangan
nilai-nilai Islam dalam penegakan HAM di tanah air.
Yang pertama datang dari Ifdhal
Kasim. Direktur bidang Hukum dan Legislasi Reform Institute ini menilai,
kesulitan paling ruwet dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM terletak
pada sistem hukum yang berlaku. “Harapan masyarakat dalam mencari keadilan
terbentur instrumen hukum,” ujarnya ketika dihubungi Syirah sore ini.
Saat ini masih banyak peraturan
yang dinilai Ifdhal diskriminatif. Misalnya, kebebasan berkeyakinan. Jaminan
ini sudah jelas dalam UUD 1945, tapi mengapa tiba-tiba bisa tersandung delik
agama dalam pasal 156 KUHP. Hukum yang ada itu harus memberikan keleluasaan
individu untuk berbeda keyakinan. “Hukum harus memproteksi keyakinan atau
pendapat yang berbeda, jangan malah mendiskriminasi,” tegasnya.
Karena itu, peran strategis yang
ingin dijalankan, seandainya terpilih menjadi anggota Komnas HAM, ia akan
menyelaraskan dan mengharmonisasi hukum nasional. Jangan sampai satu dengan
yang lain bertentangan dengan prisip HAM.
Lain halnya dengan Ahmad Baso.
Penulis buku NU Studies ini menganggap
penting metode pendekatan masyarakat dalam penanganan kasus HAM. Calon anggota
komnas yang direkomendasikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini
berpandangan, selama ini pendekatan yang dilakukan Komnas HAM terbilang
parsial, dan bisa juga disebut elitis.
Sebab, Komnas HAM masih sering
menganggap masyarakat atau korban sebagai objek. Masyarakat dianggap sebagai
orang yang tak kenal HAM, jadi harus dikasih penyuluhan dan pemberdayaan.
“Pendekatan ini tidak efektif, karena masyarakat merasa tidak terlibat, hanya
sebagai objek,” katanya.
Ini tampak dalam kasus
penanganan pelanggaran HAM yang dialami komunitas pinggiran. Misalnya
masyarakat adat dan orang-orang yang berbeda pemikirannya dengan kalangan mainstream. Bagi Baso, cara jitu
dalam advokasi korban HAM semacam ini adalah dengan pendekatan kultural, secara
holistik. “Memahami masyarakat sebagai subjek partisipan yang terlibat dalam
kasus, bukan sekedar penonton yang jadi korban,” tukasnya.
Di hubungi secara terpisah Lily
Zakiyah Munir yang juga masuk dalam daftar 70 nama itu punya cara lain
menegakkan HAM di Indonesia. “Saya akan melakukan penegakan Hak Asasi Manusia
(HAM) melalui pemahaman Islam yang membebaskan,” tegas direktur Center for Pesantren and Democracy Studies
(Cepdes) ini.
Baginya, nilai-nilai Islam juga
amat berpihak pada penegakan HAM. “Prinsip-prinsip dasar Islam itu akan membawa
seseorang pada kemerdekaan, kesetaraan, dan keadilan. Islam tak mengenal
mayoritas dan minoritas, yang adalah hanyalah kesetaraan”.
Dalam Islam Pondasi HAM terletak
pada kulliyatul khamsah, yang
tujuan akhirnya adalah kemaslahatan umum. Lima prinsip tersebut, kata Lily,
sesuai dengan kovenan HAM internasional, yang dibagi menjadi dua kategori.
Pertama, hak politik. Yaitu
menjamin kreatifitas berpikir, kebebasan berekspresi, dan mengeluarkan pendapat
(hifdz ‘aql), juga menjaga
kebebasan beragama dan berkeyakinan (hifdz
din).
Kedua, hak ekonomi, sosial, dan
budaya. Yaitu memelihara kelangsungan hidup (hifdz nafs), menjamin kelangsungan keturunan (hifdz nasl), serta melindungi
kepemilikan harta benda (hifdz mal).
Read more: http://madiuncool.blogspot.com/2011/10/cara-membuat-related-post-artikel_14.html#ixzz1nCk1OwfG